Sabtu, 19 Januari 2008

Dongeng Sang kecil dan Buaya

Rasa ngelak yang tak tertahankan membuat Sang Kancil singgah sebentar ke Sungai Winongo. Baru saja kakinya diturunkan ke tepian air, dan kepalanya ditundukkan untuk minum – Blurrrrp!! kakinya terjepit oleh sesuatu.Setelah diamat-amati ternyata seekor buaya telah menyergap kakinya. Seketika keringat dingin telah membasahi tubuh Sang Kancil. Terbayang dirinya bakalan dibawa buaya menyelam ke dasar sungai untuk dijadikan makan malam beserta keluarganya. Pfuhhhh!!Sang Kancil berusaha keras menenangkan diri, dan mulai mencari jalan agar lolos dari cokotan mulut buaya.“Hai Buaya yang gagah! Dengarkan aku. Kamu pasti pernah mendengar betapa lazatnya daging kancil. Tak ada duanya di dunia!”“Brrrrr” Buaya diam saja sambil mengeratkan gigitannya.“Daging kancil begitu harumnya, sehingga siapa saja yang memakannya, keringatnya akan berbau harum selama 40 hari. Keharuman khas kancil yang akan dikenali siapa saja dari jarak ratusan meter”.“Brrrrrrgg” Buaya nampak mulai tertarik dengan kata-kata kancil.“Tapi dengar kata-kataku ini. Aku sedang dalam perjalanan ke Alas-Roban untuk menemui Kancilman yang ditugaskan untuk menghukumku. Kancilman ini super-jagoan andalan raja.Berkat jubahnya dia bisa terbang secepat rajawali dan hidungnya mampu mengenali bau semua jenis kancil dari jarak seratus kilometer. Sia-sia saja aku coba larikan diri. Makanya aku sengaja datang menemui dirinya”.“Brrrrrrrrrrgghh” Buaya tambah tertarik dengan kata-kata Sang Kancil sehingga menggoyang-goyangkan kepalanya.“Sebulan lalu saat raja berkunjung ke hutan ini, aku telah membuat anak raja sakit dengan memberinya suguhan tikus clurut. Sakitnya makin lama makin bertambah parah dan kudengar dia mati seminggu yang lalu. Nampaknya Kancilman diutus membawaku ke istana untuk di hukum gantung. Tapi paling cepat dia akan sampai kesini dua hari lagi”“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh” Buaya benar-benar tertarik dengan kata-kata Sang Kancil sehingga matanya berkedip-kedip.“Sayangnya Si Kancilman ini rabun penglihatannya, sehingga dia hanya mengenali sasaran dari baunya. Aku khawatir dirimulah yang akan dibawa menghadap raja, karena bau dagingku akan melekat di tubuhmu selama 40 hari”“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh “ Buaya tampak mulai merasa takut

“Okey karena aku lebih suka mati dimakan buaya daripada dihukum gantung dihadapan ribuan kancil, aku akan memberitahu cara mengatasinya.” “Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh “ mata Buaya tampak bersinar-sinar mendengar ada jalan keluar yang ditawarkan Sang Kancil untuk menghindari incaran Kancilman utusan raja.“Bila dagingku dimakan 40 ekor buaya, bau tubuhku hanya bertahan 1 hari. Dirimu akan selamat dari incaran Kancilman karena dia baru akan datang lusa. Saat itu bauku telah hilang”. “Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh“ Buaya dengan antusias menggoyang-goyangkan ekornya.“Teman-temanmu juga akan berterimakasih padamu karena dihadiahi daging kancil yang lezatnya tiada tara. Akan lebih mudah bagi dirimu untuk terpilih menjadi raja buaya di sungai ini”“Kudengar raja buaya telah mati sebulan lalu dan belum ada penggantinya. Aku rasa buaya kuning yang gagah seperti kamu dengan mudah akan membuat buaya-buaya kelabu terkagum-kagum pada kedermawananmu”. “Dengarlah rahasiaku ini! Daging kancil akan membuat kulit buaya jadi kinclong! Mengkilat seperti emas! Walaupun teman-temanmu yang berkulit kelabu juga akan mengkilat setelah memakan dagingku, hanya kamulah yang paling bersinar. Itu karena kulitmu berwarna kuning keemasan”“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh“ Si Buaya dengan hati berbunga-bunga memukul-mukulkan ekornya ke air.“Tiada buaya yang lebih pantas menjadi raja buaya selain buaya kuning yang kulitnya bersinar bak emas murni. Buaya gagah perkasa yang dermawan membagi-bagi daging lezat pada semua rakyatnya” “Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh“ Gubraak!, Buaya tidak sabar lagi ingin memanggil teman-temannya.“Baiklah, panggillah teman-temanmu dan suruh mereka berbaris dari sini ke seberang sungai. Aku sendiri yang akan memastikan jumlah kalian tidak kurang dari 40 ekor” kata Si Kancil singkat
Singkatnya ada 40 ekor buaya yang berbaris dari sisi sungai ke sisi seberangnya. Sang kancil dengan lincahnya meloncat dari satu buaya ke buaya berikutnya hingga berhasil menyeberang sungai. Kemudian dia melompat ke atas tebing yang tidak dapat dijangkau buaya sambil tersenyum girang. Tentu saja buaya-buaya marah sekali merasa ditipu. Mereka berteriak-teriak menyebut Sang Kancil sebagai penipu tengik. Disebutnya Sang Kancil binatang kacau, tukang tipu-tipu, tukang manipulasi dan musuh buaya nomor satu. Namun dengan anggunnya Sang Kancil mendengarkan semua kata-kata puluhan buaya di bawahnya. Kemudian setelah mereka diam, Sang Kancil mulai menjawab tuduhan mereka.“Dengar para buaya. Musuh kalian yang terbesar bukanlah aku. Tapi dua sifat lemah pada karakter buaya. Kalian bangsa buaya gampang dimanipulasi oleh siapa saja dengan memanfaatkan dua lubang besar pada karakter kalian” kata Sang Kancil.“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh ““Hari ini aku berbaik hati membagi pengetahuanku tentang ilmu jiwa buaya. Pengetahuan yang lebih berharga daripada seribu daging kancil. Apalagi hanya daging kancil kurus seperti aku”. lanjut Sang Kancil“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh ““Ada dua lubang besar pada karakter kalian. Dua lubang yang membuat kalian mudah dihipnotis ataupun dimanfaatkan. Pertama adalah kebutuhan yang berlebihan atas rasa aman yang membuat kalian gampang ditakut-takuti dan kedua adalah rasa tamak yang membuat kalian gampang diiming-imingi”
Kalian para buaya gampang banget ditakut-takuti. Saat aku bilang ada Kancilman yang akan mencari siapa saja yang berbau kancil, kalian dengan cepat menjadi ketakutan. Padahal kalian adalah para monster sungai yang gagah perkasa”“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh ““Ketahuilah setelah rasa takut kalian berhasil ku-bangkitkan, kalian akan segera menyambar semua solusi yang aku tawarkan. Kalian tidak banyak berpikir lagi karena terhipnotis pada rasa aman yang aku janjikan”.“Kalian begitu takutnya terhadap penderitaan, sehingga kalian gampang dimanipulasi dengan tawaran perlindungan. Andai kalian berjiwa jantan dan siap menghadapi penderitaan, kalian tidak akan mudah ditakut-takuti”.“Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh ““Kalian juga tamak dan mudah diiming-imingi. Saat aku menawarkan imbalan yang luar biasa dengan sedikit usaha, kalian dengan cepat tertarik. Dengar kau Buaya Kuning! Aku menawarkan kekuasaan menjadi raja buaya dan kecantikan kulit yang cemerlang hanya dengan sedikit usaha, yaitu memakan daging kancil. Bukankah hal itu tidak masuk akal!.” “Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh Brrrrrrrrrrgghh ““Hal yang tidak masuk akal dapat kalian terima bukan semata-mata karena mulut manisku. Namun juga karena nafsu kalian untuk mendapatkan sesuatu tanpa bersusah payah. Aku memanipulasi kalian dengan menunggangi nafsu untuk memiliki sesuatu dengan mudah -- yang pada kondisi normal harus kalian raih dengan susah payah”“Aku leluasa menghipnotis akal sehat kalian karena kalian tidak sadar bahwa buaya gampang diiming-imingi! Andai kalian sadar bahwa para buaya gampang tertarik pada jalan pintas, kalian akan segera waspada saat aku datang dengan tawaran indah yang tidak masuk akal!”“Brrrr Brrrrr Brrr“ suara buaya melemah setelah menyadari kebenaran kata-kata Sang Kancil.“Kalian tidak usah bersedih dengan dua kelemahan itu. Dengarlah mulai sekarang kalian sudah memiliki bekal berharga, yakni kebijaksanaan Sang Kancil. Aku telah membantu kalian mengenal diri sendiri. Kalian para buaya yang gagah perkasa, yakinlah bahwa kalian ditakdirkan untuk selalu berjuang menutupi dua lubang besar pada karakter kalian itu!"“Brrrr Brrrrrr Brrrr“ para buaya perlahan-lahan bubar meninggalkan Sang Kancil sambil mengingat-ingat dua lubang besar pada karakter mereka

Sumber : http://duniashinichi.blogspot.com/

Melodi Cinta

sore yang indah, hmm seperti biasa aku duduk di dekat lapangan tennis ya sambil menunggu temen-temen.

"hai un, udari tadi ya?",
" belum nih, ak pusing tau "
"ah pusing kenapa, paling mikirin tugas yang menumpuk kan,
" aku tu capek tau, aku pingin berhenti latihan kempo"
aku menoleh kearah uun, aku tau mungkin dia capek lagian jarak rumah uun ama tempat latihan saat jauh, beda dengan aku hanya jalan kaki udah nyampe karena aku kost.tempat latihan bersebelahan dengan sekolah kami SMUN 4 SGR.

kedatangan pelatih membuat obrolan kami terhenti serta aku harus berhenti menonton orang berlatih tennis.aku dan uun pun masuk kedalam gedung dam mulai memakai baju latihan tanpa intruksi lagi kami berlari mengelilingi areal latihan.

sambil berlatih aku memperhatikan seseorang baru pertama kali aku lihat di tempat latihan ini, " sapa ya, pikirku, namun aku tak berani bertanya.

berbagai gerakan di ajarkan oleh simpai mul guru beladiri kami. aku sangat sedang sekali di tempat ini aku bisa melupakan segala persoalan yang sedang menerpaku biasa namanya juga hidup.

waktu istirahat sesekali aku menoleh orang itu,
"koyok kamu kok jarang latihan?" tanya simpai mul,
" sibuk simpai ,entar lagi ada pertandingan kamu harus rajin latihan.
"jadi namanya koyok ya" gumamku dalam hati
lumayan cakep cowok itu, kami juga sempat saling semyum.

entah kenapa dari saat itu aku mulai rajin pakai minyak wangi klo mau latihan aku juga slalu bawa permen.

" aduh baunya...."
" kenapa sih lit, sirik aja kerjanya"
" aneh aja lihat iluh, kok beda ya sekarang , kata uun
" ah sama aja kok" sambungku

aku mulai akrab dengan koyok, entah kenapa dia sering duduk deket ma aku ato mungkin itu cuma perasaanku aja, yang jelas aku sangat senang sekali.


bersambung


Cerpen Cinta Dari : ixora dikirim pada tanggal 19 Jan 2008

Hrtimis Yang Sederhana

Gerimis yang Sederhana

Cerpen Eka Kurniawan Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 12/16/2007 Telah Disimak 502 kali

Kenapa pula aku tak mengajaknya bertemu di China Town, pikir Mei. Ia masih berada di belakang kemudi mobil yang disewanya dari Budget di sekitar bandara seharga 30 dollar sehari. Biasanya ia pergi dengan meminjam mobil milik sepupu atau bibinya, tetapi hari ini kedua mobil tersebut tengah dipakai, dan mereka hanya bisa mengantarnya ke penyewaan. Telah lama ia sebenarnya berpikir untuk memiliki mobil sendiri, harganya sepertiga dari harga di Jakarta, tetapi dia masih punya persoalan dengan keterbatasan garasi.

Mei belum juga berhenti. Ia sudah dua kali mengelilingi Jack in the Box dan dari kaca jendela ia bisa melihat Efendi duduk menantinya. Ia juga bisa melihat seorang pengemis berkeliling di antara pengunjung restoran. Ia hanya memperlambat laju mobil tanpa menghentikannya, bersiap mengelilingi Jack in the Box untuk ketiga kalinya. Mencoba menepis kebosanan menunggu, ia mencoba mendengarkan Bad Day yang dinyanyikan Daniel Powter dari salah satu radio FM.

Lalu ia memandangi wajahnya di kaca spion tengah. Ia terlihat agak gugup. Setelah 1998, pikirnya, ini kali pertama aku akan bertemu orang dari Jakarta. Kata sepupunya, kini wajahnya terlihat lebih terang daripada saat pertama kali datang ke Amerika. Ia tak terlalu menyadarinya. Barangkali karena ia terlalu sering melihat wajahnya, tak melihat perubahan apa pun. Ada sejumput rambut keluar dari topi Los Angeles Dodgers-nya, yang dipasang agak miring. Mei menyibakkan rambutnya ke balik telinga.

Ia kembali melintasi bagian depan restoran tersebut, dan melihat Efendi masih di sana melahap burgernya. Begitu pula pengemis tersebut. Saat itulah telepon genggamnya sekonyong berbunyi. Mei menoleh, ternyata itu dari sepupunya. Ia mengangkat telepon.

"Gimana? Udah ketemu cowok itu?"

Mei tak langsung menjawab. Ujung matanya melirik ke arah Efendi di kejauhan. "Belum," gumamnya. Sebelum sepupunya mengatakan apa pun, ia segera menambahkan, "Tetapi, aku sudah melihatnya. Ia ada di dalam restoran, sedang melahap burger. Aku masih di mobil, mungkin menunggu ia selesai makan dan keluar dari sana."

"Kenapa kamu enggak menghampirinya?"

Lagi-lagi Mei tak langsung menjawab, malah terdengar suara desah napasnya. Ia menggigit bibirnya, menimbang apakah ia akan menjawab sejujurnya kenapa ia tidak juga menemui lelaki itu, atau mencoba berdalih dengan mengatakan hal lain. Di ujung sana, juga terdengar desah napas menunggu, seolah tahu Mei akan mengatakan sesuatu. Akhirnya Mei membuka mulut kembali.

"Ada pengemis di restoran."

"Apa?"

"Ada pengemis di ?."

"Ya ampun, Mei. Ini Amerika. Pengemis di sini enggak sama de ?." Suara di sana tak melanjutkan kalimat tersebut, seolah disadarkan kepada sesuatu. Setelah bisu sejenak, sepupunya kemudian menambahkan, "Maaf."

"It?s OK," kata Mei.

Meskipun begitu, sepupunya tampak tak yakin dengan ucapan Mei. Ia tak bicara, tetapi tak juga ada tanda-tanda akan mengakhiri pembicaraan. Namun, akhirnya kembali bertanya, "Mei, kamu sungguh baik-baik aja?"

"Ya, aku baik-baik aja."

Untuk kali pertama, Efendi melihat seorang pengemis masuk restoran. Saat itu ia hendak makan siang di Jack in the Box, tempat ia akan bertemu seorang perempuan yang diperkenalkan oleh temannya. Sambil mengapit Los Angeles Times yang dibelinya seharga 25 sen dari kotak koran, ia duduk menunggu burger pesanannya tersedia. Saat itulah si pengemis membuka pintu dan masuk. Pengemis itu meracaukan sesuatu, dalam bahasa Inggris yang terdengar aneh bagi Efendi.

Restoran cepat saji tersebut tengah penuh oleh para pekerja serta anak-anak sekolah bersama para pengantar mereka. Yang mengejutkannya, tak seorang pun di antara pengunjung merasa terganggu oleh kehadiran seorang pengemis. Tidak pula pelayan dan petugas kasir restoran. Pengemis itu akan diseret petugas keamanan jika melakukannya di satu restoran cepat saji di Jakarta, pikirnya. Bahkan di warung tegal pinggir jalan, pemilik warung akan buru-buru memberinya receh, bukan sebab kehendak berderma, tetapi sejenis perintah untuk segera meninggalkan warung. Tetapi, di sini, di satu sudut Los Angeles, ia melihat seorang pengemis berkeliaran bebas di dalam restoran.

Efendi mencoba mengacuhkan kehadiran pengemis tersebut dan berpikir tentang seperti apa perempuan kenalan yang akan ditemuinya. Ia mencoba memikirkan apa yang akan dikatakannya jika perempuan itu muncul, "Hai, apa kabar?" Atau, "Sudah lama tinggal di Los Angeles?" Ia masih memikirkan cara-cara membuka percakapan, barangkali bertanya hal-hal praktis menjalani kehidupan sehari-hari yang harus diperhatikannya. Ia berharap perjumpaan mereka akan terjadi sesederhana mungkin.

Pengemis itu menggendong buntalan gendut yang tampaknya berisi seluruh kekayaannya. Rambutnya coklat terbakar, menggumpal, dan di sana-sini tampaknya sudah menempel dengan kulit kepalanya. Si pengemis mengenakan mantel Adidas yang tak lagi jelas warnanya, mungkin sumbangan dari dinas sosial atau sejenisnya. Kakinya dilindungi sepatu boot yang masuk ke dalam celananya. Sejenak dipandanginya seluruh isi restoran sebelum menghampiri dua orang sopir truk yang tengah melahap burger sambil berbincang di meja dekat pintu.

"Receh, Tuan?" Pengemis itu menyodorkan telapak tangannya. Kali ini bahasa Inggrisnya jelas terdengar.

Semua pengemis menadahkan tangan, pikir Efendi. Ia sedang melamun ketika nomor antreannya diteriakkan pelayan, membuatnya tergeragap dan segera berdiri, berjalan menuju konter. Sambil menenteng nampan, ia mengisi gelasnya dengan minuman soda sampai buihnya tumpah, dan kembali ke meja. Ia tak lagi memerhatikan pengemis itu, matanya memandang ke kaca jendela, berharap melihat perempuan yang ditunggunya menyeberangi jalan. Tetapi, perempuan itu belum juga muncul. Efendi segera melahap burgernya sambil membuka lipatan koran.

Tiba-tiba pengemis itu telah berada di sampingnya, dengan telapak tangan terjulur ke arahnya. Ceracau di mulutnya yang pertama-tama membuat Efendi mendongak. Segera Efendi merogoh saku celana, mengeluarkan recehan. Ia ingat di sana ada penny, dime, quarter. Ia menyerahkan semua recehnya ke telapak tangan si pengemis, setelah sebelumnya menyelipkan dua quarter ke sakunya yang lain, persediaan untuknya membeli koran besok pagi.

"Kuharap Tuan berjumpa perempuan manis," kata si pengemis.

Ya, ya, doakan perempuan yang akan datang ini memang manis, gumam Efendi. Bukankah Tuhan selalu mengabulkan doa orang-orang yang teraniaya?

Efendi kembali melahap burgernya dan tak lagi peduli dengan pengemis tersebut.

Mei mengajaknya ke daerah Downtown. Berbelok dari Freeway, mereka melaju menuju First Street dan Mei menunjukkan letak Music Center, juga menunjukkan Dorothy Chandler Pavilion. Kata Mei, selain di Shrine Auditorium, penghargaan Oscar kadang dilaksanakan juga di sana. Mereka terus melaju melewati gedung-gedung teater yang berderet. Sepanjang perjalanan tersebut, entah kenapa, justru Mei yang banyak bicara.

Mei sendiri sebenarnya agak terkejut menemukan dirinya secerewet itu. Mungkin itu cara bawah sadar menanggulangi kegugupan. Mungkin aku begitu girang bertemu makhluk dari Jakarta. Efendi hanya memandangi tamasya melalui kaca jendela.

Dari First Street mereka berbelok ke Grand Avenue, berbelok lagi hingga mereka tiba di Little Tokyo, dan Efendi tak juga bicara. Little Tokyo tampak lebih seperti mal daripada sebuah permukiman orang-orang Jepang. Di sepanjang jalan berderet toko-toko suvenir, berselang-seling dengan toko buku, toko obat serta toko kelontong aneka barang khas Jepang. Di salah satu sisi East First Street tampak gedung cantik yang ternyata Kuil Budhis Koyosan. Saat itulah tiba-tiba Efendi berkata,

"Tadi ada pengemis."

"Mana?" tanya Mei agak terkejut, sambil menoleh ke pinggir jalan.

"Tadi, di Jack in the Box."

Terdengar Mei mendesah lega. Ia hanya menoleh sekilas ke arah Efendi sebelum kembali memerhatikan jalan di depan yang agak padat. Mei berpikir barangkali lelaki itu sama gugupnya, hingga sekonyong bicara tentang pengemis yang ditemuinya. Seakan- akan tak ada hal penting lainnya di dunia ini, gumamnya dalam hati. Ia sedang berancang-ancang untuk membicarakan keadaan di Indonesia atau mengenai rencana program kuliah yang akan diambil Efendi, sebelum tiba-tiba ia berpikir barangkali melanjutkan perbincangan mengenai pengemis bisa mencairkan keadaan.

"Aku juga melihatnya, pengemis itu," kata Mei setelah lama terdiam.

"Pengemis yang pakai mantel Adidas?"

"Ya."

"Ayo kita cari pengemis it?."

"Tidak. Tidak." Mei memotong dengan cepat.

Penolakan Mei demikian tiba-tiba, membuat Efendi terdiam dengan mulut terkatup. Ia kembali memandang tamasya di luar kaca jendela mobil, kali ini dengan tatapan gelisah, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar. Menghindari daerah Skid Row yang tak terlalu nyaman, mereka kembali berbalik arah. Efendi menoleh ke arah Mei dengan sudut matanya, harus mengakui bahwa perempuan itu tampak cantik, dengan rambut ekor kudanya menyembul dari bagian belakang topi. Namun, sejujurnya ia sedang tidak bisa memikirkan perempuan cantik saat ini. Yang ada di kepalanya hanyalah pengemis dengan buntalan gombal di Jack in the Box.

"Maaf soal tadi," kata Mei tiba-tiba. "Aku agak trauma dengan pengemis."

"Oh ?." Efendi tak tahu harus berkomentar apa. Yang jelas, harapannya untuk mencari pengemis tadi serasa sirna. Paling tidak, sangat jelas ia tak mungkin mengajak atau meminta bantuan Mei untuk mencarinya. Itu membuat Efendi kembali terdiam. Meski kali ini matanya tak melayap ke pinggiran trotoar, Efendi tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Pengemis tadi penting, ya?" tanya Mei dengan hati-hati.

"Eh, enggak," Efendi agak tergeragap. "Aku cuma heran ada pengemis di sini."

Mei tertawa, namun mencoba menahan diri untuk tidak menerangkan betapa salahnya apa yang dipikirkan kebanyakan orang mengenai Amerika. Setelah tawanya reda, dengan suara nyaris berbisik, Mei berkata,

"Tahun 1998 di Jakarta, seorang pengemis nyaris me ?," Mei tak melanjutkan kata-katanya, kebingungan. "Gimana ya, aku mengatakannya?"

"Maaf." Efendi nyaris terperanjat, mengerti apa yang tidak dikatakan Mei. "Maaf."

"Tak apa. Aku sudah jauh lebih baik." Seperti anak belasan tahun, Mei mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf "V" sambil tersenyum.

Efendi membalas senyum tanpa suara itu. Kali ini mereka sudah kembali ke Fifth Street dan melintasi Perpustakaan Pusat Los Angeles. Gedungnya tampak aneh, sejenis percampuran gaya art deco murni dengan struktur kaca yang menjulang ke langit. Kedua sayapnya dihiasi ornamen-ornamen yang eksentrik.

"Boleh aku menceritakan sesuatu?" tanya Efendi tiba-tiba.

"Ya, ya?"

"Aku memberi pengemis itu semua recehanku, hanya menyisakan dua quarter."

Mei menoleh dan tersenyum. Menunggu Efendi melanjutkan ceritanya.

Efendi menahan napas dan membuangnya perlahan. Ia berkata tanpa menoleh ke arah Mei, "Aku tak sadar cincin kawinku ada di saku celana, sekarang lenyap bersama receh-receh itu."

Mei kembali menoleh dan berseru, "Apa? Bercanda, kan? Cincin kawin?"

"Ya, cincin kawin." Efendi mengangguk sambil tersenyum kecut.

"Bagaimana bisa cincin kawin disimpan di saku celana?" tanya Mei sambil melirik ke jari-jemari tangan Efendi. Jari-jari itu memang polos belaka, tanpa cincin kawin, hanya ada bekas coretan bolpen di jempol, serta tahi lalat di jari telunjuk kiri.

Efendi tak mengatakan apa pun, bahkan tidak menoleh ke Mei, hanya memandang ke depan. Sisa senyum kecutnya masih membayang di bibirnya. Sekonyong Mei mengerti situasinya. Perempuan itu tertawa tak tertahankan, seolah inilah hari paling lucu dalam hidupnya. Ia mengguncang bahu Efendi dan menghentikan mobilnya di sisi kanan.

"Ya, ya, aku tahu," kata Mei sambil menahan tawanya. "Aku juga pernah kenal seorang lelaki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap bertemu perempuan baru."

Efendi segera menghindari tatapan Mei, menahan senyumnya sendiri.

Mei mengambil tisu dan mengusap ujung matanya. Sambil membetulkan topi di kepalanya, serta masih tertawa kecil, ia berkata, "Baiklah. Ayo kita cari pengemis itu." Ia menoleh ke belakang, berancang-ancang untuk memutar mobil yang dikendarainya. Lagi-lagi kemudian Mei tertawa, sambil memukuli kemudi dan berkata, "Hampir sepuluh tahun dan aku belum pernah ketawa serupa ini. Lelaki memang tolol sekali, ya?"

Mei masih tertawa, sepanjang jalan terdengar serupa gerimis yang sederhana. ***

Sumber :http://sriti.com

Bawah Rembulan

AWALNYA aku takut. Lama-lama jadi terbiasa. Hidup bersama orang-orang masa lalu di kota ini. Tanpa siang. Semua waktu adalah malam. Kadang hadir sebuah rembulan di langit. Membuatku senantiasa merasa sunyi walaupun sebenarnya aku suka sekali melihat rembulan. Malam rembulan.

Seorang penduduk, salah satu dari orang-orang masa lalu, pernah berkata padaku, kalau sebenarnya mereka letih untuk kembali bekerja ketika siang hari. Karena itulah mereka berkeputusan membakar siang. Membakar matahari.

Memang sudah lama aku mendengar kala waktu?yang katanya tanpa siang di kota ini. Siang sudah tak ada lagi. Siang telah menjadi malam. Kadang mereka juga kerap berpetuah pada pendatang yang kebingungan kerena menetap di kota yang selalu malam. Dalam ingatan, selintas petuah mereka terdengar: kau tak perlu ragu, jika hendak menetap di kota ini. Kata itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Jangan pernah ragu.

Ya. Selalu terngiang. Lantas, aku kembali berpikir, kenapa cemas? Cemas bagian sisi manusia. Kerap menghancurkan.

Tentang cemas, bagi orang-orang masa lalu hanyalah milik orang tak punya rasa syukur. Makanya, dahulu orang-orang masa lalu sepakat membakar matahari yang baginya membuat letih dan cemas. Terkadang sakit. Entah sakit yang bagaimana. Karena terbit sampai tenggelam matahari hanya menjadikannya bekerja. Alasan cengeng. Tapi sekarang mereka senang, petanda separuh hari telah mereka bakar. Semata, supaya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, paling hanya untuk tidur. Tindakan aneh. Tidak masuk akal, tapi begitulah kedaannya. Begitulah seterusnya.

Di hari yang selalu malam ini, terkadang aku melihat anak-anak kecil tampak riang bergembira tanpa beban. Betis ceking tanpa alas kaki, sambil bertelanjang dada, berlarian mengitari lapangan. Kembali lagi, dalam ingatanku, konon hal tersebut bagi mereka adalah ritual. Petanda bentuk penghormatan terhadap leluhur orang-orang masa lalu. Setiap hari mereka lakukan itu, sambil mengitari api unggun, mulai anak-anak sampai orang tua. Berkeliling. Begitulah seterusnya.

Sekali lagi, setiap hari malam rembulan. Dalam tatapan aku selalu melihat anak-anak berlarian. Saling kejar-kejaran. Dan remaja berpasang-pasangan, para orang tua asyik duduk tenang di setiap balkon depan rumahnya. Mereka menikmati malam. Malam bersahaja. Malam tak pernah mati.

Dalam sepanjang malam seperti ini, aku menikmati. Malam rembulan. Aku ingin mengerti semua ini. Aku tidak tahu, mengapa sedemikian berani mereka membakar siang. Aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu. Menggelisahkan.

***

Sungguh unik kehidupan di kota ini. Semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Barangkali inilah suatu kehidupan yang tak pernah ada di muka bumi ini. Kota tanpa siang. Selalu malam. Tanpa matahari.

Seperti tadi aku bilang, sekali lagi, semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Kecuali, perempuan itu. Sering aku memperhatikannya menyendiri. Sebenarnya hal itu kuperhatikan sejak pertama kali di kota ini. Aku tidak tahu namanya. Kerap aku memperhatikan, setiap gelagatnya jauh seperti perempuan umumnya yang selalu mampu menikmati malam. Tapi, sepertinya ia justru ternikmati sebagai suatu kesunyian. Bermain sunyi. Barangkali.

Suatu ketika, aku memandangnya dari kejauhan. Ia jauh dari keramaian umumnya. Dengan langkah amat perlahan aku mendekatinya. Aku mendengar isak tangis perempuan itu. Sekali lagi, kembali aku tak tahu. Entah kenapa ia menangis. Aku pun ragu untuk lebih mendekat. Hanya bertanya dalam hati. Menduga-duga.

Dugaan salah. Di malam rembulan ini, yang tanpa siang, masih ada perempuan menangis. Menangis setiap saat. Sepengetahuanku, sejak kota ini menjadi malam tanpa siang, sungguh penuh suka cita. Tanpa duka. Terlebih oleh perempuan tengah menangisi kota ini. Kotanya sendiri. Sekali lagi, aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu--selain keingintahuanku tentang mengapa sedemikian berani orang-orang di kota ini membakar siang. Membakar matahari.

Suasana aku nikmati menjadi begitu sunyi. Sunyi di balik derai tawa semua orang. Sunyi karena perempuan menangis. Menjadikan bukit-bukit tidak lagi tawarkan keindahan dari bayang-bayang selimut malam. Apalagi pagi, ketika embun membayang-bayangi bukit di tampak kejauhan. Laut juga tidak membawa debur ombak lagi. Apalagi ombak saling balap. Yang tersisa hanya gelap. Bermahkota bulan. Malam rembulan.

Kini aku benar-benar mendekati perempuan itu. Di belakangnya. Rupanya ia tahu. Tanpa kusadari, ia menangis sambil berkata-kata. Kata bersama isaknya yang terbata-bata. Sekarang aku benar-benar mendengarnya. Suatu hal paling aku inginkan.

Seketika itu pula kudengar ia berkata. Sambil terisak-isak. Menjadikannya terdengar terputus-putus.

"Inikah kotaku? Kota hancur. Mati. Orang-orang serakah. Matahari sudah mereka hancurkan. Matahari sudah tak milik kota ini lagi. Hancur. Langit tak punya salah. Langit kehilangan mataharinya. Kota ini tak bercahaya lagi. Semua mata pada gelap! Barangkali pikirannya pun demikian."

Aku tak mengerti. Ucapnya bercampur isak begitu menampakkan emosi batinnya terasa olehku. Terputus-putus. Sebisa mungkin aku merasakannya. Aku diam. Aku biarkan sampai ia berkata-kata kembali. Cukup lama aku menunggu. Kembali terlihat olehku, ia tampak sibuk memainkan jemarinya. Mengelus-elus putih kuku kerasnya. Memijat tangan lembutnya sendiri. Rasanya seperti menghitung-hitung irama kegelisahannya. Gundah. Rasanya banyak pula ingin dikatakannya. Kata kesal. Barangkali sesal.

Aku pun memulainya. Setidaknya ia kembali untuk berkata-kata lagi. Aku mendengar kata-katanya kembali. Tidak jelas. Sekuat tenaga, aku berusaha menangkap maksudnya. Sekuat tenaga, aku ingin mengerti kegelisahan mendaging dari miliknya. Rasanya. Ucap kesal dan sesal terdengar banyak. Sulit aku mengungkapkannya. Ungkapan mengalir dan seterusnya. Begitulah.

***

Aku kembali ke rumah. Melintasi jalan-jalan sepi. Lengang: Sembari masih teringat perempuan itu. Oh, kehidupan malam. Malam rembulan. Kau membuat aku selalu bertanya-tanya. Entah kehidupan macam apa ini. Mengapa sedemikian nekat orang-orang kota ini membakar siang. Membakar matahari.

Dalam pikiran, barangkali khayalan dalam angan, terlintas: Aku dan kekasihku masih berjauhan. Jarak jauh. Jarak terpisah oleh lautan. Bahkan pulau. Aku di sini, seperti aku bilang tadi, di pulau pada kota tak tanpa matahari. Siang mati. Sudahlah, aku hanya bayang. Seperti bayang dari wujud cahaya rembulan. Berpendar. Dari bulan tersiram matahari di pulau sana. Aku tak tahu. Di sini masih dan akan terus tanpa matahari. Malam selamanya. Sudahlah, sepertinya jadi makin mengigau sepanjang perjalanan ini. Gelap. Lengang. Selalu dan masih di bawah rembulan.

***

Seperti tak tersadar. Entah kemana aku melangkahkan kaki ini. Terus berjalan. Di bawah rembulan mengitari kota ini. Seperti kukatakan tadi, kehidupan orang-orang di sini seperti lebih bercahaya. Entah cahaya bagaimana. Bahkan cahaya apa. Dari pancaran mata orang-orang di sini tak menampakkan sebuah beban. Beban kosong. Kelamaan terkesan tak berpengharapan.

Seketika, kembali aku jumpai perempuan itu. Di pertigaan jalan itu. Seperti ada sesuatu ditunggunya. Tampak berpenampilan berbeda dari sebelumnya. Tampak anggun. Di bawah sinar rembulan, tampak cahaya menyepuh seluruh tubuhnya. Tak seperti aku lihat sebelumnya. Meskipun demikian, auranya masih menggelisahkan. Ia masih menangis. Entah ke berapa kalinya. Entah karena apa lagi.

Kembali perlahan, aku mendekatinya. Amat perlahan. Entah kegelisahan apalagi darinya. Yang kutahu, sejak pertama memang cukup banyak seolah ia gelisahkan. Aku sudah mendekat. Ia tampak menangis. Seperti kala waktu aku menjumpainya.

Kali ini aku ingin berkata padanya, tapi tak dapat. Kecuali dalam hati: Entah kegelisahan apalagi kau punya. Padahal ingin banyak berkata-kata padanya. Ingin tahu, kesal maupun sesalnya.

Cukup lama aku menunggunya. Penasaran. Mungkin aku harus memulainya. Semata, memancingnya bicara.

Inilah kesekian kalinya kulihat kau menangis lagi. Entah duka apa kau punya.

"Malam tak ada lagi. Sungguh jahanam. Aku kehilangan segalanya dari orang-orang serakah yang telah membakar matahari."

Aku masih tak mengerti maksud bicaranya. Aku hanya melihat ia menangis kembali. Terisak-isak. Entah kepada siapa pula ia tujukan kata-kata itu. Entah apa yang mengganggunya.

Tiba-tiba ia kembali berkata.

"Aku merindukan lelakiku dan matahariku. Semua di sini pada puas. Kepuasan mematikan kehidupan siang. Orang-orang di sini hanya ingin enaknya saja. Selalu menikmati malam. Menghalalkan haram. Mengharamkan halal. Lelakiku terbunuh karena memertahankan siang. Sekarang hanya malam. Malam di kota penuh kejahatan. Aku merindukan terang."

Dengan langkah amat perlahan aku meninggalkannya. Tampak olehku dari kejauhan, ia masih berbicara seorang diri. Sambil sesekali terisak-isak. Aku kembali berjalan. Entah ke mana. Tidak ingin pulang ke rumah.

Ada sepi dan ramai. Kembali aku melintasi orang-orang menikmati malam bawah rembulan. Anak-anak masih tak letih berlarian. Penduduk kota masih dengan nikmatnya. Entah nikmat yang bagaimana. Semua tampak tanpa beban. Tempaan angin dari arah teluk cukup membuat dingin. Di kota selalu malam aku masih terus bertanya dalam hati. Kegilaan apa yang menjadikan mereka nekat membakar matahari.

Setiap hari, di malam bawah rembulan. Aku masih melewati ruas-ruas jalan di kota ini. Kota pekat. Kota nekat. Setibanya di pertigaan jalan itu, di sudut tembok, aku kembali melihat perempuan tengah menangis. Seorang diri. Kali ini bukan yang tadi kujumpai. Rasanya tak perlu lagi aku dekati. Hanya dalam hati: Entah kesedihan apalagi yang kau punya.***

Sumber : http://sriti.com/story_view.php?key=2631

Tatapan Mata Ibu

Kuangkat HP di meja: "Ya, halo?" "Wok, agak santai? Ibu baru saja nelpon, kalau bisa kamu diminta pulang sebentar"

"Ada apa? Ibu gerah?"

"Tidak; Ibu sehat-sehat saja; katanya kangen, hanya ingin ngobrol-ngobrol saja dengan kamu".

"Ya, besok saya usahakan; sampaikan pada Ibu, tapi hanya semalam, lusanya mesti pulang karena siangnya ada acara."

"Ya, nanti saya nelpon Ibu."

Kuletakkan kembali HP di meja setelah hubungan putus, tak lagi kudengar suara mbak Nita, salah satu kakakku, satu-satunya perempuan dari tiga saudaraku yang kini tinggal di Kudus ber-sama keluarganya.

Pasti ada yang penting yang akan disampaikan Ibu meskipun katanya hanya kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Selama ini Ibu hanya memintaku pulang, baik sejak ketika dulu aku masih kuliah di luar kota maupun setelah kini bekerja dan berkeluarga, kalau ada hal-hal yang penting yang perlu dibicarakan denganku.

Hanya bedanya, kalau dulu waktu aku masih kuliah kalau Ibu ada kepentingan denganku dan memintaku untuk pulang langsung meneleponku, tetapi sekarang sejak aku bekerja apalagi setelah berkeluarga, mesti lewat mbak Nita atau saudara lain. Ketika pernah kutanya, mengapa, Ibu hanya menjawab, takut kalau mengganggu kesibukan kerjaku.

Dan juga sejak dulu Ibu tak pernah langsung mengatakan kepentingannya; paling seperti apa yang disampaikan mbak Nita tadi, kangen dan ingin ngobrol-ngobrol saja. Berdasarkan pengalaman pasti ada yang akan disampaikan dan penting.

Kebetulan besok tak ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan, perlu kusempatkan pulang; sulit kalau direncanakan waktunya. Pernah beberapa kali aku merencanakan pulang dengan keluarga, selalu gagal; ada-ada saja pekerjaan yang tiba-tiba mesti harus cepat diselesaikan.

Memang Lebaran kemarin aku tak pulang, giliran mudik ke rumah mertua. Kami, aku dan istriku telah membuat kesepakatan sejak perkawinan; dalam mudik Lebaran kami buat jadwal; kalau Lebaran tahun ini ke orang tua istriku, Lebaran tahun berikutnya ke orangtuaku, dan seterusnya bergantian

Terkadang kami mudik sehari dua hari setelah Lebaran, malah terkadang ketika Lebaran tak mudik ke mana-mana. Tak ke orangtuaku, juga tak ke orang tua istriku. Orang tua kami sudah memahami kebiasaan kami, demikian juga dengan saudara-saudara.

*

Kutepuk bahu Ibu dari belakang; agak njenggirat kaget, Ibu menengok; "Sedang asyik masak apa Bu?"

"Lho, wis tekan, jam piro saka ngomah?" Ini nggoreng kepala ayam dan nanti nyambal terasi kesenanganmu".

Kulihat di penggorengan ada potongan-potongan daging ayam, juga kepala ayam yang masih dengan batang lehernya.

"Tadi habis subuhan, terus ke stasiun."

Aku ingat waktu kecil, kalau Ibu masak ayam yang disembelih dari piaraan sendiri atau membeli, setelah membagi-bagi dagingnya kepada kami, selalu memberiku kepala sambil memberi perlambang, agar kelak menjadi pemimpin. Mas Wib diberi sayapnya, biar bisa terbang ke mana-mana, mbak Nita diberi ceker-kakinya, biar pandai ceker-ceker mencari makan sendiri dan adikku Wid diberi bagian dada agar menjadi kesatria yang berani menunjukkan dadanya, bukan menjadi pengecut.

Ada satu cerita lucu tentang kesenanganku pada kepala ayam. Suatu ketika Ibu masak ayam, kepala ayam dimakan mas Wib. Aku menangis sejadi-jadinya, ngamuk, berteriak-teriak, mengancam, mau masuk sumur kalau tidak diberi kepala ayam. Ibuku kalang kabut. Disuruhnya mbak Nita ke pasar hanya untuk membeli kepala ayam.

Salah satu tetangga, Budhe Bakri, mendengar teriakan tangisku, datang dan bertanya pada Ibu kenapa aku ngamuk; Ibu menjelaskan. Sejak itu, kalau Budhe Bakri masak ayam, pasti aku dikirimi kepala ayam, sambil memberi berkata: "Ini kepala ayam, jangan njegur sumur."

Sampai sekarang, kalau aku pas pulang silaturahmi ke rumahnya selalu Budhe Bakri meledek: "Ora njegur sumur?" Dan peristiwa itu diceritakan kepada istri dan anak-anakku.

*

Ibu menunggui aku yang sedang makan: "Ada yang perlu disampaikan Bu, kok tiba-tiba Ibu minta aku pulang?" tanyaku sambil menggigit kepala ayam untuk kubuka dan kuambil otaknya.

"Oh, ndak, hanya Ibu terkadang kok kangen ingin ngobrol-ngobrol saja. Bagaimana kabar istrimu, anak-anakmu?"

"Sehat-sehat Bu, mereka titip sungkem." Ibu diam, kulihat selintas Ibu memandangiku dalam-dalam yang sedang memegang kepala ayam yang kugigit- gigit.

"Sudah dengar kabar masmu Wib?" suara Ibu pelan.

Kuhentikan gigitanku. Kupandang wajah Ibu. Kulihat kerutan-kerutan di sekitar kelopak mata dan pipinya. Kutatap matanya. Aku kaget sendiri. "Oh, Ibu sudah nampak tua," kataku dalam hati. Aku sadar; ternyata selama ini aku tak begitu perhatian. Setiap pertemuanku dengan Ibu, dan itu saja jarang, kuanggap hanya pertemuan biasa saja. Aku tenggelam dengan urusanku sendiri.

"Kalau itu benar, masmu Wib ditahan, kemudian masuk penjara, lalu bagaimana nama baik keluarganya, anak istrinya, dan nama baik ...?" Kata-kata Ibu terhenti.

Kutatap mata Ibu, kupandang wajah Ibu. Ibu memandangku. Hatiku galau, tergetar. Ada sesuatu yang kubaca dari tatapannya, dari mimik wajahnya. Ibu mengharapkan sesuatu dariku.

"Ya, aku sudah tahu. Ibu tak usah banyak berpikir, doakan saja semoga mas Wib, selamat tak mengalami suatu apa," kataku perlahan, menunduk kembali ke kepala ayam, kugigit, kubuka tempurungnya, kuambil otaknya, menghindari tatapan Ibu dengan galau pikiran.

*

Besok aku mesti pulang. Begitu sampai, langsung kantor ada pekerjaan yang tak mungkin ditunda. Sejak tadi siang, sampai tadi waktu makan malam bersama, Ibu tak lagi berkata sesuatu, tak juga menyinggung-nyinggung tentang mas Wib, apalagi minta agar aku membantu mas Wib.

Tetapi aku tanggap, ke mana arah kata-kata Ibu tadi siang yang berhenti pada:"... nama baik.... Pasti yang dimaksud nama baik orang tua, dan tentu saja nama baik Ibu. Dan itu merupakan kegelisahan Ibu yang kutangkap dari wajah dan sinar matanya. Dan dari mimik wajah dan tatapan matanya, seperti bicara, memohon padaku, 'Tolong masmu Wib'."

Tapi, mungkinkah aku memenuhi permohonannya, menghapus gelisahnya, dan menghilangkan beban pikirannya dengan menolong mas Wib melepaskannya dari jeratan hukum karena perbuatan korupsi yang dilakukan bersama dengan beberapa temannya sesama anggota legislatif di salah satu provinsi di luar Pulau Jawa?

Aku gelisah. Sulit tidur. Ingat kata-kata Ibu di masa kecilku. Kelak jadilah orang yang baik dan berguna dalam kehidupan, ingat kepala ayam agar jadi pemimpin, ingat selalu dibangunkan Ibu di tengah malam untuk nonton wayang kulit kalau kebetulan di balai desa atau ada salah satu warga kampung nanggap wayang?

Dari lambang kepala ayam, yang menjadi kegemaranku sejak kecil sampai sekarang, dari cerita-cerita wayang dan tokoh-tokohnya aku telah mengobsesi diriku untuk benar-benar ingin mewujudkan menjadi orang yang baik dan berguna seperti apa yang dinasehatkan Ibu. Dan obsesi itu coba aku wujudkan sekarang dalam tugasku sebagai jaksa.

Tatapan Ibu terus menghunjam. Wajah Ibu terus membayang, dan aku membaca dalam tatapan mata Ibu, dalam mimik wajah Ibu, permohonan meskipun tak terucapkan: "Tolong masmu Wib!"

Dan permohonan Ibu bukan hanya untuk kepentingan mas Wib dan keluarganya saja, tetapi untuk kepentingan seluruh keluarga. Nama baik bapak ibu, nama baik saudara-saudara, dan nama baikku juga. Nama baik keluarga.

*

Aku terkejut. Ada ketukan di pintu. "Belum tidur Wok?" kudengar suara Ibu. Kulihat jam, jarum pendeknya menunjuk angka dua, jarum panjangnya menunjuk angka sembilan.

Bergegas kubuka pintu. Kulihat Ibu masih menggunakan mukena, melangkah masuk duduk di atas tempat tidur. "Jangan kau pikirkan apa yang Ibu katakan tadi siang Wok. Ibu menyadari: Ndog sak petarangan senajan saka babon sing podho yen wis netes bisa bedho-bedho. Ana sing ireng ono sing putih, ono sing walik ono sing brontok wulune. Wis ngaso, sesuk mbok krinan, kan bali jam nem.

Belum sempat aku berkata sesuatu, Ibu telah beranjak dari tempat tidur melangkah meninggalkan kamar. Ibu baru saja berkata-kata memberi gambaran, bahwa meskipun telur satu eraman, yang keluar dari induk yang sama, bisa beda ketika menetas. Ada yang hitam, ada yang putih, ada yang seperti ikal, ada yang trotol-trotol bulunya. Intinya, meskipun dari Ibu yang satu watak anak-anaknya bisa beda-beda.

Dan Ibu memintaku istirahat, tidur, agar tak kesiangan karena besok pagi pulang jam enam.

*

"Bagaimana Wok, sudah ketemu Ibu? Cerita apa saja Ibu? Lalu apa jawabmu? Kabulkan permintaannya Wok. Kasihan Ibu sudah tua. Saatnya kau membalas budi Ibu. Ini kesempatan yang baik untuk kamu membalas Ibu".

"Ya, ya, ini di atas kereta mbak, dalam perjalanan pulang. Nanti kutelepon lagi kalau sudah sampai rumah".

Kereta laju berjalan menuju tujuan. Tak demikian pikiranku. Serasa buntu, tak tahu apa yang mesti kulakukan dan apa yang mesti kukatakan pada mbak Nita nanti setelah sampai seperti apa yang telah kujanjikan tadi dalam percakapan. ***

Sumber :http://sriti.com/story_view.php?key=2628